Gesturkata.com | OPINI – Memasuki era derasnya arus digitalisasi global, Indonesia berdiri di persimpangan sejarah: antara menjadi penguasa data atau sekadar penyedia sumber daya digital bagi raksasa teknologi asing.
Kedaulatan data kini bukan sekadar urusan teknis di balik server, tetapi isu hukum dan geopolitik yang menentukan arah kedaulatan bangsa di abad digital.
Kementerian Kominfo dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) tengah menyusun peta jalan Nasional tentang “kedaulatan data dan infrastruktur siber.” Namun terungkap jargon kemandirian digital, tersimpan kelemahan mendasar: Indonesia belum sepenuhnya berdaulat secara hukum dalam ruang digital.
Lebih dari 80 persen data warga Indonesia masih tersimpan di server luar negeri. Artinya, secara yuridis, sebagian besar aset informasi nasional tidak berada pada kendali hukum Indonesia.
Dalam hukum internasional, ini berarti “loss of jurisdictional control”, kehilangan kendali yurisdiksi atas data yang seharusnya tunduk pada hukum nasional.
Uni Eropa melalui General Data Protection Regulation (GDPR) telah menegaskan bahwa setiap data warga Eropa bukan wilayahnya tetap tunduk pada hukum Uni Eropa.
Sementara Indonesia baru sampai pada tahap pembentukan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), yang masih menghadapi tantangan besar dalam implementasinya.
Kedaulatan data tidak bisa diwujudkan hanya dengan regulasi, tetapi dengan kesiapan struktural. Beberapa ancaman nyata yang dihadapi Indonesia antara lain:
Ada tiga kelemahan fundamental yang membuat Indonesia rapuh secara hukum dan geopolitik digital:
Pertama, lemahnya regulatory coherence. Terdapat tumpang tindih antara UU ITE, UU PDP, dan regulasi Kominfo yang tidak seragam dalam penegakan. Banyak pasal saling bertabrakan dan tidak memberikan kepastian hukum bagi pelaku industri digital.
Kedua, lemahnya legal enforcement capacity. Kasus kebocoran data seperti BPJS, Dukcapil, atau marketplace besar tidak berujung pada sanksi tegas. Tidak ada preseden hukum yang memberikan efek jera, sehingga prinsip accountability dalam UU PDP tidak berjalan.
Ketiga, mentalitas birokrasi yang reaktif. Pemerintah sering menanggapi serangan siber dengan pembenaran administratif, bukan dengan strategi hukum atau diplomasi digital. Ini menunjukkan lemahnya state capacity dalam menghadapi ancaman non-konvensional di ranah hukum siber.
Secara yuridis, kedaulatan data merupakan perpanjangan dari kedaulatan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berdaulat.”
Kedaulatan ini kini tidak hanya mencakup wilayah darat, laut, dan udara, tetapi juga ruang digital (cyberspace sovereignty).
Kedaulatan Data Pribadi, di mana setiap pengendalian dan pemrosesan data harus berdasarkan persetujuan subjek data;
Prinsip Keamanan dan Tanggung Jawab, yang menuntut penyelenggara sistem elektronik menjaga integritas dan kerahasiaan data;
Prinsip Lokalisasi dan Transfer Data, yang membuka ruang bagi negara untuk mengatur data strategis tetap berada dalam yurisdiksi nasional.
Namun, kelemahan hukum muncul pada aspek implementasi dan pengawasan. Tanpa lembaga pengawas independen, prinsip hukum ini akan kehilangan taring.
Dalam konteks geopolitik, kedaulatan data juga bersentuhan dengan hukum internasional publik terutama Tallinn Manual on the International Law Applicable to Cyber Warfare, yang mengakui bahwa setiap serangan digital terhadap data strategis suatu negara dapat dikategorikan sebagai bentuk agresi non-konvensional.
Dengan demikian, pelanggaran terhadap sistem data nasional bukan sekadar tindak pidana siber, tetapi dapat dianggap pelanggaran terhadap kedaulatan negara, yang menuntut respon hukum setara dengan ancaman terhadap wilayah teritorial.
Kedaulatan data merupakan bagian integral dari hukum pertahanan negara di ranah digital. Negara wajib melindungi data rakyatnya sebagaimana melindungi wilayah dan kedaulatan politiknya. Oleh karena itu, pemerintah perlu:
1. Membentuk otoritas perlindungan data independen (Data Protection Authority) untuk menegakkan UU PDP secara efektif;
2. Menetapkan klausul hukum lokal dalam semua kontrak penyimpanan data internasional;
3. Mengintegrasikan kedaulatan data dalam doktrin hukum pertahanan nasional dan diplomasi luar negeri;
4. Membangun sistem peradilan siber agar setiap kejahatan digital memiliki jalur hukum yang jelas dan cepat.
Kedaulatan negara di abad digital tidak lagi diukur dari luas wilayah atau kekuatan militer, melainkan dari kemampuan hukum dan teknologi untuk mengendalikan data dan melindungi warga di ruang maya.
Jika Indonesia gagal menegakkan hukum kedaulatan datanya hari ini, maka esok, kedaulatan politik dan ekonominya akan ikut ditentukan oleh algoritma dan kontrak yang dibuat di luar batas negerinya.
Kedaulatan data bukan hanya urusan Kominfo ia adalah fondasi hukum dari kedaulatan bangsa di era digital. (**)
Opini ini ditulis oleh: Mohd. Sahrul Lakoro (Ketua DPC PERMAHI Gorontalo)