
Gesturkata.com | OPINI – Sejak reformasi 1998, kita sering mendengar jargon bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Konstitusi pun menegaskan kedaulatan berada di tangan rakyat. Namun, kalau kita lihat realitas politik hari ini, kedaulatan rakyat lebih sering menjadi mitos ketimbang kenyataan. Demokrasi yang seharusnya menghadirkan partisipasi luas, kini hanya berputar di ruang sempit yang dikendalikan oleh partai politik. Yang kita hadapi bukan demokrasi substantif, melainkan demokrasi semu: demokrasi yang di permukaan tampak megah dengan pesta pemilu dan jargon kedaulatan rakyat, tetapi di dalamnya rapuh, karena sesungguhnya keputusan penting negara ditentukan segelintir elite.
Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Prinsip dasarnya adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi menekankan partisipasi warga negara, kesetaraan hak, serta penghormatan terhadap hukum dan kebebasan. Demokrasi adalah government of the people, by the people, and for the people (pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat). Demokrasi menuntut keterbukaan. Oleh karena itu, pembentukan undang-undang harus melibatkan masyarakat sebagaimana Undang-undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Publik berhak memberikan masukan, kritik, maupun usulan dalam setiap tahap. Inilah wujud prinsip checks and balances dalam demokrasi.
Indonesia menganut prinsip kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945). Artinya, rakyat adalah sumber legitimasi kekuasaan, termasuk dalam pembentukan undang-undang. Proses legislasi harus mencerminkan aspirasi rakyat karena hukum dibuat bukan untuk penguasa, melainkan untuk masyarakat.
Partai politik memang punya peran penting dalam sistem demokrasi. Tapi persoalannya, partai hari ini lebih sering berfungsi sebagai “gerbang penguasa” ketimbang jembatan aspirasi rakyat. Siapa yang maju sebagai calon presiden, calon kepala daerah, atau bahkan siapa yang duduk di DPR, semua ditentukan lewat mekanisme internal partai yang sangat elitis dan tertutup. Rakyat hanya bisa menerima pilihan yang sudah ditentukan. situasi ini merembes ke proses pembentukan hukum. Seharusnya undang-undang lahir dari kebutuhan rakyat. Tapi realitanya, banyak undang-undang dibuat karena kepentingan partai dan kompromi politik. Contoh paling jelas adalah UU Cipta Kerja yang disahkan kilat meski ditolak keras oleh berbagai kelompok masyarakat. Begitu juga dengan revisi UU KPK, yang melemahkan lembaga antikorupsi, padahal rakyat jelas-jelas menolaknya.
Di titik ini, kita bisa melihat dengan terang: hukum di Indonesia tidak sepenuhnya lahir dari suara rakyat, tetapi lebih dari kesepakatan elite partai di Senayan. Rapat dengar pendapat publik hanya formalitas, konsultasi publik hanya prosedur. Padahal inti demokrasi adalah partisipasi rakyat yang nyata, bukan sekadar catatan administratif.
Masalahnya, sistem kita menempatkan partai politik sebagai pintu tunggal untuk semua. Jika pintu itu dikendalikan elite, maka rakyat otomatis tersisih. Akibatnya, hukum yang seharusnya jadi manifestasi kedaulatan rakyat justru berubah jadi alat legitimasi kekuasaan. Pertanyaan sederhana yang harus terus kita ajukan adalah: apakah hukum yang lahir hari ini benar-benar untuk rakyat, atau hanya untuk mereka yang duduk di kursi kekuasaan?
Dalam teori demokrasi konstitusional, anggota legislatif idealnya adalah representasi rakyat. Mereka duduk di parlemen untuk menyuarakan kepentingan publik. Tapi, bagaimana realitas perekrutan legislator di Indonesia? Jawabannya sederhana: semua pintu masuk ada di tangan partai politik. Pasal 22E UUD 1945 menyebutkan pemilu dilaksanakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden, dan DPRD. Secara normatif, rakyatlah yang memilih. Namun, siapa saja yang boleh maju sebagai calon legislator, ditentukan penuh oleh partai politik. Artinya, rakyat hanya diberi hak memilih, tapi tidak punya hak mencalonkan siapa yang mereka kehendaki secara bebas.
Dalam kerangka hukum tata negara, kondisi ini menciptakan kontradiksi serius. Kita menyebut DPR sebagai “lembaga representasi rakyat”, tapi mekanisme perekrutan anggotanya jelas lebih mewakili kepentingan partai. Artinya, yang terwakili di parlemen bukan rakyat, tapi elite politik. Jika kita hubungkan dengan dinamika pembentukan hukum, hasilnya bisa ditebak: undang-undang yang lahir cenderung lebih berpihak pada partai, kelompok pemodal, atau kepentingan pemerintah yang berkoalisi, ketimbang pada kebutuhan rakyat banyak. Demokrasi yang seharusnya menghadirkan check and balance berubah jadi perdagangan politik.
Demokrasi Indonesia sedang berada di persimpangan. Apakah kita akan terus bertahan dalam demokrasi semu yang dikendalikan oleh partai politik, atau berani membuka jalan bagi rakyat untuk benar-benar berdaulat? Kedaulatan rakyat bukan sekadar pasal indah dalam UUD 1945. Ia harus diwujudkan dalam setiap proses politik dan hukum, mulai dari perekrutan legislator, pembentukan undang-undang, hingga regulasi pemilu. Tanpa reformasi radikal, demokrasi kita akan terus menjadi panggung sandiwara, di mana rakyat hanya menjadi figuran yang dipanggil lima tahun sekali.
Jika hukum lahir tanpa suara rakyat, maka hukum itu hanyalah naskah perjanjian antara elite bukan perjanjian sosial bangsa ini. Demokrasi tanpa rakyat hanyalah kedok kekuasaan. Demokrasi tidak mati karena kudeta, ia mati pelan-pelan lewat tangan para wakil yang lebih setia pada partai ketimbang pada rakyat. Pertanyaannya, sampai kapan kita rela hidup dalam demokrasi yang hanya menjadi bayangan?
OPINI Oleh: Arsyadul Anam