Gesturkata.com | Kolom Unik – Dalam beberapa tahun terakhir, aktivitas judi online di Indonesia telah menunjukkan dinamika yang signifikan.
Pertama, data resmi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap bahwa perputaran uang judi online sepanjang 2025 telah mencapai sekitar Rp 155 triliun.
Angka ini menurun cukup drastis ketika tahun 2024 yang menurut proyeksi mencapai sekitar Rp 359 triliun. Kedua, menurut Yusril Ihza Mahendra, menteri terkait, perputaran uang judi online ternyata lebih besar daripada perputaran uang dari korupsi di Indonesia.
Ketiga, arahan dari Prabowo Subianto sebagai Presiden menegaskan bahwa pemberantasan judi online dan korupsi menjadi dua prioritas utama.
Dengan melihat ketiga aspek tersebut, angka kuantitatif, perbandingan dengan kejahatan lain, dan arah kebijakan negara. Maka kita dapat menggunakan teori struktural untuk menganalisis mengapa fenomena ini bisa muncul, bagaimana ia termodelkan dalam sistem sosial dan ekonomi, serta apa implikasinya bagi struktur kekuasaan dan regulasi di Indonesia.
Menurut teori struktural, setiap fenomena sosial tidak hanya terlihat sebagai peristiwa tunggal, tetapi sebagai bagian dari jaringan institusi, norma, dan relasi kekuasaan. Dalam kasus judi online:
Institusi keuangan dan transaksi digital memainkan peran penting. PPATK mencatat angka transaksi yang besar, sehingga menunjukkan bahwa jaringan keuangan menjadi saluran utama judi online.
Relasi kekuasaan dan regulasi antara negara, aparat penegak hukum, dan pelaku sering kali lingkungan online yang sulit dipantau mencerminkan bahwa struktur pengawasan negara sedang teruji.
Norma sosial dan ekonomi: tergambar bahwa banyak pemain judi online adalah mereka yang berpenghasilan rendah (di bawah Rp 5 juta per bulan). Hal ini menunjukkan bahwa konteks ekonomi masyarakat luas ikut memengaruhi munculnya judi online sebagai pilihan aktivitas.
Struktur global dan teknologi: judi online memanfaatkan dunia digital tanpa batas geografis, sehingga regulasi nasional saja tidak cukup. Ini mengubah struktur kekuasaan karena pelaku bisa berpindah ke platform luar negeri, menghindar pengawasan.
Dengan demikian, fenomena tidak hanya soal “banyak orang berjudi”, tetapi juga soal bagaimana sistem keuangan, regulasi digital, dan kemiskinan/ketidaksetaraan berinteraksi bersama-sama.
Selanjutnya, mari lihat secara struktural pada angka selanjutnya:
Ketika PPATK menyebut bahwa perputaran uang judi online pada 2025 mencapai Rp 155 triliun, meskipun turun ketika pada 2024 tetap angka yang sangat besar. Strukturnya bisa terlihat sebagai berikut:
Penurunan angka menunjukkan bahwa tindakan regulator dan aparat mulai berdampak, yakni kerja bersama kementerian/lembaga berhasil menekan deposit dari sekitar Rp 51 triliun di 2024 menjadi Rp 24 triliun di Oktober 2025.
Namun, bahwa angka masih sebesar itu menunjukkan bahwa struktur ekonomi kegiatan judi online sudah cukup kuat dan meluas. Artinya, sistem saluran keuangan, transaksi digital, mungkin rekening bank, maupun transfer lintas negara, telah membentuk jaringan yang sulit membongkar secara total.
Dari sisi pemain, jika mayoritas berpenghasilan rendah, maka struktur ekonomi masyarakat juga berperan: ketika pilihan terbatas, judi online bisa muncul sebagai “peluang” meskipun berisiko besar. Hal ini menunjukkan struktur ketimpangan ekonomi ikut membentuk fenomena ini.
Dari sisi perbandingan, jika kata Yusril bahwa perputaran judi online “lebih besar dari korupsi”, maka struktur kejahatan finansial di Indonesia juga harus melihat sebagai lebih kompleks daripada satu jenis kejahatan. Artinya, sistem kriminal keuangan telah terbagi ke banyak jalur korupsi, narkoba, judi online dan masing-masing memiliki struktur sendiri yang saling berhubungan.
Dengan demikian, angka-angka ini bukan hanya statistik, tetapi bagian dari struktur yang lebih besar: ekonomi masyarakat, sistem keuangan digital, regulasi negara, dan jaringan kriminal.
Menurut teori struktural, kekuasaan dan institusi tidak hanya bereaksi terhadap fenomena, tetapi juga membentuk kerangka yang mana fenomena bisa tumbuh atau ditekan. Dalam konteks ini:
Presiden Prabowo telah memberikan instruksi tegas agar judi online dan korupsi diberantas. Ini menunjukkan bahwa dari struktur atas (kekuasaan negara) ada upaya normalisasi bahwa “judi online tidak boleh dibiarkan”.
Negara melalui PPATK dan kementerian terkait memposisikan diri sebagai aktor pengendali transaksi digital dan kejahatan keuangan. Kerjasama antar lembaga tersebut menunjukkan struktur institusional yang sedang dijalankan untuk menekan jaringan judi online.
Namun sekaligus, struktur kekuasaan ini punya tantangan: jika jaringan judi online telah melewati batas nasional atau menggunakan teknologi yang sulit dipantau, maka struktur negara harus menyesuaikan. Maka kebijakan yang ada harus mencakup teknologi, regulasi internasional, dan mekanisme keuangan. Seperti disebut bahwa penegakan hukum dan pemanfaatan teknologi menjadi bagian dari strategi.
Di sisi masyarakat, apabila negara fokus kepada pemberantasan dan menekan transaksi, maka struktur antara masyarakat-negara mulai berubah: masyarakat yang dahulu mungkin “toleran” terhadap judi online karena pilihan terbatas, sekarang mendapat tekanan regulasi. Struktur sosial pun berubah karena norma terhadap judi online bisa makin negatif.
Dengan demikian, fenomena ini mencerminkan bagaimana struktur kekuasaan (negara, lembaga penegak), struktur ekonomi (masyarakat, transaksi), dan struktur teknologi (platform online) saling berinteraksi.
Terakhir, mari kita lihat dampak yang muncul secara struktural dari fenomena ini:
Dari sisi ekonomi masyarakat, jika banyak orang berpenghasilan rendah yang berjudi online, maka struktur risiko ekonomi mereka meningkat. Hal ini bisa memperbesar ketimpangan karena orang yang kalah judi bisa terjerumus ke utang atau kemiskinan yang makin dalam.
Dari sisi negara, aliran dana besar dari judi online artinya ada potensi kebocoran ekonomi uang yang seharusnya bisa masuk ke aktivitas produktif tetapi justru “melintas” ke jaringan gambling. Ini mengganggu struktur ekonomi nasional. Seperti terungkap bahwa perputaran judi online bisa lebih besar dari korupsi.
Dari sisi moral dan sosial, jaringan judi online bisa memperlemah struktur nilai sosial, misalnya generasi muda mudah terpengaruh, dan struktur keluarga atau komunitas bisa terganggu karena kegiatan ilegal atau terselubung.
Dari sisi regulasi, struktur hukum dan penegakan harus menyesuaikan. Bila aparat negara aktif menindak, maka struktur kejahatan bisa bergeser ke wilayah yang lebih sulit dipantau (luar negeri, dompet digital, Crypto). Ini menuntut adaptasi struktural yang bukan sekadar penindakan, tetapi pencegahan, edukasi, dan pemulihan sosial.
Akhirnya, sebuah struktur konflik muncul: antara pihak yang ingin mempertahankan status quo (pelaku jaringan judi, mungkin terkait dengan pengaturan keuangan terselubung) dan pihak yang ingin memperkuat pengawasan negara dan regulasi. Konflik ini menunjukkan bahwa struktur sosial-ekonomi dan struktur kekuasaan terus bergeser.
Dengan menggunakan teori struktural, kita dapat memahami bahwa fenomena judi online di Indonesia bukan hanya persoalan individu yang memilih berjudi, tetapi sebuah sistem yang melibatkan jaringan transaksi keuangan, regulasi negara, teknologi digital, kondisi ekonomi masyarakat, dan norma sosial.
Meskipun angka perputaran judi online di tahun 2025 sebesar sekitar Rp 155 triliun menunjukkan adanya penurunan pada tahun sebelumnya, namun jumlah tersebut tetap sangat besar dan menunjukkan bahwa struktur jaringan judi online masih aktif dan kuat. Sementara itu, pernyataan bahwa judi online lebih besar dari korupsi menunjukkan bahwa kejahatan keuangan telah terstruktur dalam banyak jalur yang saling terkait.
Dari sisi kebijakan, arahan tegas Presiden dan koordinasi lembaga menjadi bagian dari upaya memutus struktur tersebut. Namun agar perubahan struktural benar-benar terjadi, untuk lebih dari sekadar penindakan diperlukan pemutusan alur keuangan ilegal, regulasi teknologi yang adaptif, serta perubahan ekonomi masyarakat agar pilihan yang lebih baik tersedia.
Dengan demikian, pembaca dapat melihat bahwa memerangi judi online bukan hanya soal menutup situs atau membekukan rekening, melainkan soal merombak struktur yang memungkinkan judi online tumbuh: struktur ekonomi yang tidak setara, struktur keuangan yang rentan, dan struktur regulasi yang belum sepenuhnya menyesuaikan dengan teknologi.
Semoga artikel ini membantu pembaca umum untuk memahami secara lebih mendalam bukan hanya “apa yang terjadi”, tetapi juga “mengapa bisa terjadi” dan “apa yang harus terlaksana” dalam konteks struktur sosial-ekonomi Negara (**)