OPINI – Konstitusi kita jelas menegaskan dalam Pasal 28E UUD 1945: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Hak ini bukan hadiah dari penguasa, bukan pula kemurahan hati negara, melainkan hak konstitusional rakyat yang tidak boleh d!cabut oleh siapa pun. Namun sayangnya, realitas hari ini menunjukkan betapa hak itu kerap menjadi bahan seolah-olah bisa d!negosiasikan.
Kita sering menyaksikan mahasiswa, aktivis, bahkan masyarakat kecil yang turun ke jalan menuntut keadilan justru terbungkamkan dengan stigma: pengganggu ketertiban, ancaman stabilitas, bahkan musuh negara. Aparat turun dengan represif, suara rakyat d!bungkam, dan ironisnya semua itu dibenarkan atas nama hukum. Pertanyaan mendasar: hukum yang mana? Hukum siapa? Bukankah konstitusi telah memberi jaminan bahwa kebebasan berpendapat adalah hak yang melekat pada setiap warga negara?
Pendekatan hukum konstitusi mengajarkan kita untuk melihat lebih dalam. Konstitusi bukan hanya dokumen formal, ia adalah kompas moral. Kebebasan berpendapat adalah inti dari demokrasi. Tanpa kebebasan berbicara, demokrasi hanya akan menjadi topeng bagi kekuasaan otoriter. Jika rakyat tidak bisa bersuara, maka konstitusi tidak lagi hidup ia hanya menjadi teks mati yang kehilangan makna.
Realitas politik kita semakin memprihatinkan. Undang-undang yang seharusnya melindungi rakyat, justru sering d!pakai untuk membungkam rakyat. Pasal karet dalam UU ITE, pembatasan aksi unjuk rasa, hingga kriminalisasi aktivis, semuanya bertolak belakang dengan amanat konstitusi. Inilah bentuk nyata pengkhianatan terhadap janji luhur bangsa.
Sebagai mahasiswa hukum, saya menolak jika kebebasan berpendapat terus d!pasung. Konstitusi bukanlah barang dagangan yang bisa d!atur sesuai selera penguasa. Konstitusi adalah batas kekuasaan, pengingat bahwa rakyatlah pemilik kedaulatan tertinggi. Maka, membungkam suara rakyat sama saja dengan merampas kedaulatan itu.
Kita harus berani bersuara: kebebasan berpendapat bukanlah ancaman, melainkan napas demokrasi. Jika suara rakyat terus d!bungkam, jangan salahkan jika bangsa ini perlahan terjebak kembali dalam otoritarianisme yang pernah kita lawan dengan darah dan air mata.
Pendekatan hukum konstitusi harus kita jadikan senjata moral. Artinya, setiap tindakan negara harus diuji dengan pertanyaan sederhana: apakah ini selaras dengan amanat konstitusi? Jika tidak, maka itu adalah pelanggaran. Karena pada akhirnya, konstitusi adalah milik rakyat, dan suara rakyat adalah roh dari konstitusi itu sendiri.
Opini oleh: Abdul hafizh Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN STS Jambi