Gesturkata.com | Pesawaran – Fajar baru saja menyapa Dusun Pancur, Desa Hurun, Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Pesawaran. Di antara embun yang masih menempel di daun, sekelompok ibu-ibu tampak berjalan menenteng kardus, mengetuk rumah demi rumah, mengumpulkan donasi untuk memperbaiki jalan yang telah lama rusak.
“Semenjak kampung kami terkena banjir dua bulan lalu, jalan di sini putus. Jadi setiap Minggu kami ibu-ibu menggalang donasi,” ujar Ibu Saodah, Minggu (26/10/2025).
Ia bersama warga lain bahu-membahu agar jalan penghubung dusun kembali bisa dilalui.
Jalan utama yang menghubungkan Dusun Pancur dengan pusat kota Pesawaran itu kini menjadi nadi yang lumpuh. Lumpur dan genangan air membuat jalan licin, bahkan anak-anak kerap kesulitan berangkat ke sekolah. Aktivitas warga terhambat, sementara bantuan dari pemerintah belum kunjung datang.
Di tengah kekecewaan itu, warga berinisiatif melakukan gotong royong. Setiap Minggu pagi, mereka membawa sekop, pasir, dan batu seadanya untuk menambal jalan.
“Kami masyarakat Dusun Pancur merasa prihatin. Sudah lama tidak ada perbaikan, padahal jalan ini sangat penting. Akhirnya kami berinisiatif memperbaiki sebisanya,” kata salah satu tokoh masyarakat, Kang Ewok.
Kang Ewok menuturkan, kegiatan ini dilakukan secara sukarela. Warga dari berbagai usia turun tangan, dari pemuda hingga orang tua, tanpa menunggu bantuan pihak luar. “Kami tidak bisa menunggu terus. Kalau hujan, kami tidak bisa beraktivitas sama sekali. Ini bentuk kepedulian kami agar dusun ini tetap bisa bergerak,” imbuhnya.
Aksi warga Dusun Pancur ini bukan hanya soal perbaikan jalan, tetapi juga bentuk kritik terhadap janji yang tak ditepati. Menurut Kang Ewok, perbaikan infrastruktur pernah dijanjikan saat pemilihan kepala desa.
“Waktu pencalonan kades, dijanjikan tiap tahun satu jembatan. Nyatanya sampai sekarang belum ada. Urusan jalan pun sudah berkali-kali diukur tapi tak kunjung diperbaiki. Masyarakat sudah capek, jadi kami swadaya,” ucapnya kesal.
Nada serupa diungkapkan Anta, salah satu pemuda dusun. Ia menyebut kegiatan swadaya ini lahir dari rasa kecewa warga terhadap pemerintah yang dianggap tidak konsisten.
“Sudah bertahun-tahun kami menunggu janji perbaikan jalan. Petugas sering datang hanya untuk mengukur, tanpa ada hasil. Jadi kegiatan ini bukan sekadar gotong royong, tapi juga kritik kami agar pemerintah sadar,” ujarnya.
Ibu Saodah menuturkan bahwa para ibu turut berkontribusi dalam bentuk kecil namun bermakna. “Kami kumpul lima ribu setiap Minggu, sekaligus ambil pasir di kali,” katanya sambil tersenyum. Bagi mereka, perbaikan jalan bukan sekadar membangun akses, tetapi menjaga harapan agar kehidupan dusun tetap berjalan.
Semangat gotong royong warga Dusun Pancur menjadi cermin kekuatan sosial di tengah keterbatasan. Di balik lumpur dan jalan rusak, ada tekad bersama untuk bertahan, bekerja, dan menagih janji yang belum ditepati. (Fajar)