
Opini Oleh: Widia Dewi Anggraini, S.H
Gesturkata.com | Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merupakan dokumen fundamental dalam sistem perencanaan pembangunan di Indonesia. Ia bukan sekadar peta wilayah atau tumpukan dokumen administratif, melainkan landasan hukum yang menentukan peruntukan lahan, zonasi pembangunan, hingga perlindungan kawasan strategis dan rawan bencana.
Namun, dalam praktiknya, keberadaan RTRW justru sering diabaikan. Ia tidak lagi menjadi kompas arah pembangunan, melainkan hanya formalitas legal yang bisa disesuaikan demi kepentingan jangka pendek.
Fenomena ini menjadi ironi yang terus berulang. Proyek-proyek pembangunan berdiri megah di zona hijau, kawasan lindung, atau bahkan daerah rawan bencana, tanpa memperhatikan peruntukan ruang yang telah ditetapkan dalam RTRW. Ketika dokumen perencanaan yang seharusnya menjadi acuan justru dilanggar, maka jelas ada persoalan sistemik dalam tata kelola ruang di negeri ini.
Pembangunan yang Tidak Tunduk pada Rencana
Salah satu akar masalah dari tidak berfungsinya RTRW adalah lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran tata ruang. Banyak kepala daerah atau pejabat yang mengeluarkan izin lokasi dan izin mendirikan bangunan (IMB) tanpa mengacu pada RTRW yang berlaku.
Alasan yang kerap diajukan adalah kebutuhan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Namun, justru dengan tidak taat pada rencana tata ruang, pembangunan menjadi tidak berkelanjutan dan merugikan masyarakat dalam jangka panjang.
Tak jarang pula ditemukan kasus di mana pemerintah daerah secara tiba-tiba merevisi RTRW hanya untuk mengakomodasi kepentingan investor atau pengembang. Proses revisi yang seharusnya melalui partisipasi publik dan kajian mendalam, dilakukan secara tertutup dan tergesa-gesa.
Akibatnya, ruang publik tergerus, kawasan resapan air hilang, dan lingkungan hidup semakin terancam.
Ketidaksinkronan Antar Kebijakan
Persoalan lainnya adalah tumpang tindih antara kebijakan tata ruang dengan kebijakan pembangunan sektoral.
Di satu sisi, RTRW menetapkan zona tertentu sebagai kawasan pertanian atau lindung, namun di sisi lain, kementerian teknis atau proyek strategis nasional justru mendorong pembangunan industri atau infrastruktur di wilayah tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa perencanaan pembangunan tidak berjalan secara terpadu dan seringkali mengabaikan prinsip tata ruang.
RTRW yang seharusnya menjadi alat pengendali justru tidak memiliki daya ikat yang kuat. Ketika keputusan politik dan kepentingan ekonomi mendominasi, maka RTRW dianggap fleksibel, bahkan bisa “disesuaikan” demi kelancaran proyek-proyek besar.
Ini jelas bertentangan dengan semangat perencanaan ruang yang seharusnya berpihak pada keseimbangan lingkungan, keadilan sosial, dan keselamatan masyarakat.
Dampak Sosial dan Ekologis
Akibat dari diabaikannya RTRW sangat nyata dirasakan oleh masyarakat. Bencana ekologis seperti banjir, tanah longsor, hingga kekeringan ekstrem, sebagian besar terjadi karena alih fungsi lahan yang tidak terkendali.
Kawasan yang semula ditetapkan sebagai hutan lindung atau daerah resapan air, berubah menjadi perumahan elit, pusat bisnis, atau kawasan industri. Ketika daya dukung lingkungan rusak, maka masyarakatlah yang harus menanggung risikonya.
Di sisi lain, konflik agraria juga meningkat. Ketidaksesuaian tata ruang memicu tumpang tindih antara klaim masyarakat adat, petani, dan perusahaan besar. Ketika ruang hidup masyarakat tidak lagi dilindungi oleh kebijakan tata ruang, maka yang terjadi adalah marjinalisasi kelompok-kelompok rentan demi kepentingan korporasi.
Menempatkan Kembali RTRW di Jalur yang Benar
Sudah saatnya kita berhenti memperlakukan RTRW sebagai dokumen administratif yang bisa dilanggar atau disesuaikan semaunya. RTRW harus kembali ditempatkan sebagai alat utama untuk mengarahkan pembangunan agar tetap dalam koridor keberlanjutan. Untuk itu, dibutuhkan langkah-langkah konkret:
Pertama, memperkuat penegakan hukum terhadap pelanggaran tata ruang. Pemerintah harus memiliki keberanian untuk membatalkan izin-izin yang melanggar RTRW dan memberikan sanksi tegas kepada pejabat yang menyalahgunakan kewenangan.
Kedua, memastikan proses penyusunan dan revisi RTRW dilakukan secara partisipatif, transparan, dan berbasis data ilmiah. Keterlibatan masyarakat, akademisi, dan organisasi lingkungan sangat penting agar rencana tata ruang benar-benar mencerminkan kebutuhan dan potensi wilayah.
Ketiga, mensinkronkan kebijakan pembangunan sektoral dengan dokumen tata ruang. Setiap rencana pembangunan, baik di tingkat pusat maupun daerah, harus tunduk pada RTRW. Tanpa itu, perencanaan akan terus berjalan parsial dan berisiko tinggi terhadap keberlanjutan.
Penutup
Tata ruang adalah soal keadilan, keberlanjutan, dan hak atas ruang hidup yang layak. Ketika RTRW hanya dijadikan formalitas dan tidak diimplementasikan dengan sungguh-sungguh, maka kita sedang menciptakan masa depan yang rapuh. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus menunjukkan komitmen nyata dalam memperbaiki tata kelola ruang, demi pembangunan yang benar-benar berpihak pada rakyat dan lingkungan. (ANG)