Gesturkata.com – KABAR | Dugaan pemalsuan ijazah yang menyeret nama Wakil Bupati Gorontalo Utara, Nurjana Hasan Yusuf, terus menjadi sorotan publik. Kasus ini kini resmi tengah ditangani oleh Polda Gorontalo, sebagaimana diakui langsung oleh Bupati Gorontalo Utara dalam keterangannya kepada media.
Namun, yang membuat kasus ini semakin menarik dan menimbulkan tanda tanya besar adalah munculnya banyak kejanggalan dalam riwayat pendidikan sang wakil bupati. Berdasarkan sejumlah data yang beredar, Nurjana tercatat pernah bersekolah di SMP Negeri 4 Buluwangun, Jakarta, pada tahun 1982, tetapi baru memiliki ijazah SMA Gorontalo tahun 2002.
Artinya, terdapat rentang waktu sekitar 20 tahun antara masa SMP dan SMA, padahal secara normal jenjang pendidikan tersebut hanya membutuhkan waktu tiga tahun.
Selain itu, Wakil Bupati Gorontalo Utara juga tercatat memiliki ijazah Paket C tahun 2012, sehingga total terdapat dua ijazah berbeda dengan jarak sepuluh tahun, Ijazah sekolah formal tahun 2002 dan ijazah nonformal Paket C tahun 2012. Kejanggalan ini menjadi alasan kuat bagi publik dan akademisi hukum untuk menilai bahwa ada sesuatu yang tidak wajar dalam riwayat pendidikan pejabat publik tersebut.
*PERMAHI: Ini Lebih dari Sekadar Dokumen*
Menanggapi hal ini, Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI) Cabang Gorontalo menilai bahwa kasus dugaan ijazah ganda dan kejanggalan masa pendidikan Wakil Bupati Gorontalo Utara merupakan indikasi kuat adanya manipulasi administratif yang harus diusut secara hukum, bukan sekadar dijelaskan lewat narasi politik.
“Bayangkan, dari SMP tahun 1982 ke SMA tahun 2002 ada jarak 20 tahun. Lalu, muncul lagi ijazah Paket C tahun 2012. Ini bukan sekadar tidak lazim — ini mencurigakan. Kami mendesak Polda Gorontalo agar tidak berhenti pada klarifikasi, tapi melakukan penyelidikan forensik dokumen dan asal-usul ijazah tersebut,” tegas Rian, Sekretaris Umum DPC PERMAHI Gorontalo.
PERMAHI menilai bahwa dua ijazah berbeda dengan rentang waktu mencurigakan berpotensi mengandung unsur pemalsuan surat atau penggunaan dokumen palsu, sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHP dengan ancaman pidana hingga enam tahun penjara.
*Bupati Gorontalo Utara Akui Kasus Sedang Ditangani Polda*
Dalam pernyataannya, Bupati Gorontalo Utara mengakui bahwa kasus dugaan pemalsuan ijazah Wakil Bupati telah masuk tahap penanganan oleh Polda Gorontalo saat aksi demonstrasi oleh ALIANSI MAHARDIKA.
Pernyataan tersebut menjadi penegasan bahwa isu ini bukan sekadar manuver politik, melainkan perkara hukum yang sedang diproses secara resmi oleh aparat penegak hukum.
Namun, PERMAHI mengingatkan bahwa transparansi proses hukum harus dijaga. Publik berhak mengetahui perkembangan penyelidikan agar tidak muncul kecurigaan adanya intervensi atau perlindungan politik terhadap pejabat daerah.
“Bupati sudah mengakui kasusnya sedang diusut. Maka sekarang bola ada di tangan Polda Gorontalo. Kami minta aparat bertindak profesional dan terbuka kepada publik. Jangan sampai kasus ini hanya menjadi isu sesaat yang hilang tanpa hasil,” lanjut pernyataan tersebut.
*Krisis Integritas di Tengah Demokrasi Lokal*
Bagi PERMAHI, kejanggalan ini tidak hanya menunjukkan kemungkinan adanya pelanggaran hukum, tetapi juga krisis moral dan integritas pejabat publik. Seorang wakil bupati bukan hanya simbol kekuasaan, tetapi juga representasi kejujuran di mata rakyat. Bagaimana publik bisa percaya kepada pemimpin yang riwayat pendidikannya saja penuh tanda tanya?
“Integritas pejabat publik tidak bisa dibangun di atas dokumen yang diragukan. Jika sejarah pendidikan pun kabur, maka legitimasi moral jabatan itu ikut goyah,” ujar Rian
PERMAHI menegaskan bahwa demokrasi lokal akan runtuh jika pejabat bisa naik jabatan dengan dokumen yang tidak sah. Karena itu, organisasi mahasiswa hukum ini menegaskan akan terus mengawal jalannya penyelidikan hingga tuntas.
*Jangan Ada Kekebalan Moral*
PERMAHI menegaskan, kasus dugaan ijazah ganda dan kejanggalan riwayat pendidikan Wakil Bupati Gorontalo Utara adalah ujian bagi integritas penegakan hukum di Gorontalo.
Jika benar terdapat unsur pemalsuan, maka hukum harus ditegakkan tanpa kompromi.
“Kami, mahasiswa hukum, akan terus mengawal kasus ini sampai terang. Jika hukum tunduk pada kekuasaan, maka bangsa ini kehilangan moralnya. Hukum harus menjadi pelindung kebenaran, bukan tameng pejabat,”. Pungkasnya